Hafal Quran Sebulan Bukan untuk Mengejar Gelar Al-Hafizh atau Pujian Manusia

Hafal Quran Sebulan Bukan untuk Mengejar Gelar Al-Hafizh atau Pujian Manusia

Kesalahan Niat Menghafal Al-Quran Selama Sebulan

Jika Anda hanya ingin gelar Al-Hafizh maka ubah saja akhiran nama Anda menjadi ‘Al-Hafizh’. Namun mereka sama sekali tidak hafal Al-Qur’an karena tidak mau melalui proses menghafalnya. Jika hanya gelar, berapa banyak siswa yang belajar hanya untuk mencari gelar akademik atau non-akademik tetapi tidak disertai dengan ilmu yang harus dipelajarinya.

Mereka yang hanya berharap gelar dan pujian menjadi malas membaca, malas mengikuti pelajaran, malas mengulang pelajaran yang seharusnya dipelajari, dan belajar hanya untuk memenuhi kebutuhan nilai ujian semester. Ini adalah bencana akibat dari kesalahan niat untuk hanya mencari gelar.

Gelar Al-Hafizh pada awalnya digunakan oleh orang-orang yang menghafal ratusan ribu hadits. Sebagai contoh seperti al-Hafizh Ibnul Jauzi, al-Hafizh Ibnu Katsir, al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Hafizh as-Suyuthi, dan lain-lain. Begitu pula Al-Hafizh Ibnul Jauzi memiliki kitab berisi biografi para ahli hadits terkemuka diberi judul Al-Hatstsu ‘ala Hifzhil Ilmi wa Dzikru Kibâril Huffâzh (Motivasi Menghafal Ilmu dan Biografi Para Huffazh Terkemuka).

Dulu gelar untuk penghafal Al-Quran yaitu al-Hâmil. Seperti halnya Imam an-Nawawi menulis kitab berjudul at-Tibyân fî Adabi Hamalatil Qur`ân. Hamalah (الحَمَلَةُ) jama’ dari hâmil (الحَامِلُ). Kitab tersebut berisi tentang adab-adab para penghafal al-Qur’an.

Manakah yang benar istilah al-hafizh untuk yang hafal hadits atau untuk yang hafal al-Qur`an atau boleh untuk kedua-duanya? Hal tersebut di Indonesia, penghafal Al-Quran disebut sebagai Al-Hafizh, sebab istilah ‘hamil’ berkonotasi ibu yang sedang mengandung. Perubahan istilah bahasa ini juga bisa jadi karena Al-Hafizh merupakan orang yang hafal ribuan hadits yang sudah pasti hafal Al-Quran. Karena Al-Hafizh yang sesungguhnya sangat jarang maka istilah Al-Hafizh disematkan pada para penghafal Al-Quran. Hal tersebut tidak ada yang mempermasalahkan.

Apa arti tahfidz Quran?

Menurut Ustadz Abdul Aziz Abdul Rauf istilah tahfidz adalah proses mengulang sesuatu, baik dengan membaca atau pun mendengar. Pekerjaan apapun apabila dilakukan terus dan diulang, pasti menjadi hafal. Pada generasi awal penyiaran Islam orang-orang yang menghafal Al-Quran disebut Huffazhul Quran.

Program tahfizh Al-Quran bisa dikatakan ibadah yang sakral karena berkaitan langsung dengan Kalamullah. Program menghafal Al-Quran sebulan harus bertujuan untuk mendapatkan Ridha Allah, Surga tertinggi, dan dijauhkan dari api neraka.

Gelar Al-Hafizh merupakan identitas yang disematkan oleh orang lain kepada para penghafal Al-Quran. Mereka telah memberikan kepercayaan bahwa mereka telah hafal Al-Quran 30 juz dan rajin muraja’ah dan menjaga nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Quran. Oleh karena itu, gelar ‘Al-Hafizh’ cukup menjadi penghargaan dari orang lain untuk memuliakan Al-Quran yang dihafal dan dipelajari serta mengajarkan kembali Al-Qur’an untuk menjadi mulia disisi Allah Subhanahu Wata’ala.

Menghafal Al-Quran selama sebulan amalan besar yang sia-sia jika tidak ikhlas

Meskipun menghafal Al-Qur’an memiliki keutamaan yang begitu besar di sisi Allah Subhanahu Wata’ala, namun jika seseorang yang menghafal Al-Qur’an hanya berharap pujian dari manusia maka dia hanya mendapatkan pujian tersebut tetapi tidak mendapatkan pahala di sisi Allah. Bahkan hanya mendapatkan dosa dari riya’  karena dia melakukannya. Apalagi riya’ adalah syirik kecil yang menggugurkan pahala menghafal Al-Qur’an. Maka para penghafal Al-Quran harus menyadari hal ini dan memohon perlindungan kepada Allah Subhanahu Wata’ala agar diberikan keikhlasan dalam segala ibadahnya, termasuk dalam ibadah menghafal Al-Qur’an.

Kejadian nyata dalam karantina hafalan Al-Quran selama satu bulan

Kesalahan niat dalam menghafal Al-Quran tidak hanya menggugurkan pahala tetapi juga menjadi beban ketika menghafalnya. Penulis pernah menemukan bahwa salah satu peserta karantina tahfizh sangat antusias menghafal Al-Quran namun dalam sehari hanya mendapat satu atau dua halaman dengan durasi belajar 12 jam per hari. Bacaannya sudah sesuai dengan kaidah tajwid, kaidah tahfidz, kegiatan karantina sudah disiplin dengan baik, metodologi juga sudah maksimal dipraktikkan namun masih tetap kesulitan menghafal Al-Quran.

Saat pembinaan penanganan kesulitan menghafal Al-Qur’an, ternyata dia antusias menghafal Al-Qur’an karena ibunya berkata, “Kamu harus menyelesaikan menghafal 30 juz sebulan karena ibunya akan membanggakan anaknya di depan di hadapan para tetangga.”

Sebagai seorang anak, tentu saja ia tidak ingin membuat ibunya kecewa atau malu. Karena itu, ia begitu semangat menghafal Al-Qur’an untuk membahagiakan ibunya. Namun, yang terjadi adalah Allah tidak menurunkan kemudahan. Kenyataannya, yang ada yaitu dia kesulitan menghafal Al-Quran karena selama proses menghafal merasa tidak aman, stres, tertekan, putus asa, malu, khawatir, dan perasaan lain yang mengalihkan fokusnya dari menghafal Alquran.

Program tahfizh Al-Quran untuk dewasa dan anak-anak disatukan dalam setiap angkatan. Adapun klasifikasi kelompok dilakukan berdasarkan kriteria usia dan level kemampuan belajar. Kriteria level tahsin dewasa, tahsin anak-anak, tahfizh dewasa dan tahfizh anak-anak. Setiap level usia dan level belajar memiliki permasalahan yang beraneka ragam namun permasalahan tersebut sudah dapat diantisipasi dengan adanya coaching personal. Setiap peserta yang memiliki permasalahan yang berbeda-beda meliputi problem niat, identitas, nilai-nilai, keyakinan, kemampuan, kedisiplinan, kebiasaan, karakter, dan pembiasaan lingkungan. Hal ini alhamdulillah sudah ditemukan pola cara mengatasinya.

Pembinaan Penanganan Kesulitan Hafalan Al-Qur’an Peserta Sebulan

Setelah selesai curhat kemudian orang tuanya penulis telepon dan mengakui kesalahan niat yang dilakukannya. Setelah itu, barulah si anak yang sedang berada di karantina tahfizh merasakan terbebas dari niatan-niatan lain yang menghalangi fokus dari hafalan Al-Quran.

Alhasil, setiap hari ia mampu menghafalkan Al-Quran belasan halaman kemudian di pekan ketiga mampu menghafal Al-Quran di atas 20 halaman per hari dan di pekan ke empat mampu menghafal di atas 30 halaman per hari bahkan sesekali 40 halaman per hari di pekan ke lima. Alhamdulillah akhirnya ia mampu menghafalkan khatam perdana 25 juz dalam waktu sebulan. Pekan pertama ia merasakan kesulitan karena kesalahan niat yang kemudian ia perbaiki pada pekan kedua menjelang pekan ke-3.

Pendapat Para Ulama Terdahulu Mengenai Hafal Al-Quran

Di dalam tafsirnya Al-Jami’ Lil Ahkam Al-Qur’an bahwa, “Hal pertama yang harus diperhatikan oleh shahibul-quran adalah mengikhlaskan niat dalam mempelajari Al-Quran, yaitu semata-mata karena Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana telah kami sebutkan. Dan hendaknya ia menyerahkan jiwanya untuk membaca Al-Quran, baik malam maupun siang hari, dalam shalat maupun di luar salat, agar tidak lupa.”

Jika menghafal Al-Quran karena berharap pujian manusia sebenarnya ia sedang beramal dengan amalan yang besar tetapi tidak memiliki pahala apa-apa di hadapan Allah. Bahkan itu diancam berdosa dengan siksa-Nya. Sebagaimana Imam Nawawi berkata di dalam al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn Al-Hajjaj bahwa, “Amalan seseorang yang hanya menginginkan pujian dari orang lain adalah amalan yang batil, tidak berpahala bahkan ia akan mendapatkan dosa.”

Amalan hafalan Al-Quran mampu mengantarkan seseorang menuju surga Allah tetapi jika tidak ikhlas maka tidak akan masuk ke dalam surga bahkan mencium wanginya pun tidak akan bisa. Sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu (belajar agama) yang seharusnya diharapkan adalah wajah Allah, tetapi ia mempelajarinya hanyalah untuk mencari harta benda dunia, maka dia tidak akan mendapatkan wangi surga di hari kiamat.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Seseorang bisa saja merasa sudah ikhlas dalam menghafal Al-Quran. Namun jika di dalam hatinya masih tersimpan keinginan untuk dihormati karena Al-Quran yang sudah dihafalnya maka sebenarnya keikhlasan tersebut telah tersingkirkan oleh harapan dan keinginannya. Beliau mengutip perkataan Ibn al Qayyim al-Jauziyyah (w 751), di dalam al-Fawa’id bahwa, “Ikhlas di dalam hati seseorang tidak mungkin menyatu dengan harapan akan pujian, sanjungan, dan keinginan terhadap apa yang dimiliki manusia, melainkan seperti air dengan api yang tidak dapat menyatu.”

Pujian Hanya untuk Allah

Seorang penghafal Al-Quran entah itu mengharapkan pujian dari orang lain maupun tidak, sebenarnya pujian itu memang pantas didapatkan. Betapa tidak, amalan menghafal Al-Quran merupakan amalan yang istimewa dan setiap mukmin pasti menginginkannya. Namun jika tujuannya hanya ingin mendapatkan pujian maka hendaknya mengikhlaskan diri bahwa apa yang diperolehnya merupakan karunia dari Allah Subhanahu Wata’ala. Allah yang lebih berhak untuk dipuji karena jika bukan karena kehendaknya maka tidak ada seorang pun yang dimampukan oleh Allah untuk menghafal Al-Quran.

Hendaknya para peserta Hafal Quran Sebulan maupun calon-calon peserta, harus sebisa mungkin memurnikan niat menghafal Al-Quran hanya karena berharap rida Allah. Adapun hal-hal lain yang didapatkan setelah menghafal Al-Quran dan mengajarkannya maka itu pun karunia Allah. Pujian lebih pantas kita berikan kepada para penghafal Al-Quran dalam arti kita ingin mendapatkan kemuliaan “Al-Hafizh” sebagaimana Allah memuliakan para penghafal Al-Quran.

Tunjukkan akhlak yang baik bahwa riya’ itu bukan untuk menghukumi hafalan Al-Quran orang lain, melainkan upaya cermin perbaikan niat sebagai introspeksi diri agar kita mampu mengikhlaskan niat lillahi ta’ala. Adapun jika menuduh semua peserta program Hafal Quran Sebulan itu riya’ maka ini pun su’uzhan yang harus dihindari.

Terlebih menghindari hafalan Al-Quran karena takut riya’ maka ini pun salah kaprah yang harus dihentikan. Intinya kita harus menghafal Al-Quran karena berharap ridha Allah. Karena itu hafal Quran sebulan bukan untuk mengejar gelar Al-Hafizh atau pujian manusia, melainkan hanya karena Allah saja.

Mengendalikan Pikiran, Perasaan, dan Tindakan dengan Niat yang Benar

Niat yang benar penting dilakukan agar pikiran, perasaan, dan tindakan bisa dikendalikan oleh niat. Apabila tidak berniat maka bisa jadi segala tindakan yang dilakukan itu akan dikendalikan oleh pikiran dan perasaan. Efeknya bisa ditebak pasti akan terjadi pasang surut sesuai dengan mood yang dirasakan pada saat itu.

Bagaimana cara mengendalikan pikiran, perasaan, dan tindakan?… Berniatlah untuk sesuatu yang mau dilakukan.

Segala amal ibadah tergantung pada niatnya. Segala tindakan baik yang diniatkan lillahi ta’ala pasti akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya.

Dalam pelatihan ilmu NLP kita diajarkan bahwa kita tidak boleh dikendalikan oleh pikiran dan perasaan kita melainkan niat kitalah yang harus mengendalikan pikiran dan perasaan sehingga tindakan bisa dikontrol apakah sesuai dengan niat awal atau tidak.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ

ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ

Artinya: Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya.
Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.(HR. Bukhari dan Muslim).

Dalil kewajiban beribadah niat karena Allah terdapat dalam Al Quran:

وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلْقَيِّمَةِ

Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5).

Ikhlas adalah memurnikan niat hanya karena Allah agar mendapatkan balasan dari Allah Subhanahu Wata’ala. Secara bahasa berasal dari kata kholasho yang artinya bersih hati/tulus. Segala perbuatan yang tanpa disertai keikhlasan berarti riya’ sedangkan riya merupakan perbuatan ingin dilihat oleh orang lain. Oleh karena itu, riya disebut syirik kecil. Adapun syirik merupakan dosa besar. Segala amalan ibadah yang dilakukan dengan riya’ maka tidak akan memperoleh pahala di sisi Allah, naudzubillah.

Hendaknya niat bergabung dalam program Karantina Hafal Quran Sebulan bukan untuk mengejar gelar Al-Hafizh atau Pujian Manusia ataupun hanya sekedar selembar sertifikat melainkan agar memperoleh Ridha Allah, surga-Nya, dan diselamatkan dari bahaya siksa neraka. Jika pun ada yang memuji, maka ingatlah bahwa pada dasarnya mereka memuji Al-Quran karena Allah.

Semoga Allah memberikan anugerah kenikmatan beribadah hanya karena Allah Subhanahu Wata’ala. Apabila segala amal dilakukan lillah maka akan memberikan kebahagiaan dan kenikmatan saat berproses melakukannya. Aamiin.

Yadi Iryadi, S.Pd
Dewan Pembina Yayasan Karantina Tahfizh Al-Quran Nasional
Founder Metode Yadain Litahfizhil Qur’an
www.hafalquransebulan.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *