Fenomena Menghafal Al-Quran Sebulan di YKTN Pusat Kuningan Jawa Barat
Sejak tahun 2013 ada tayangan lomba-lomba tahfizh Al-Qur’an di berbagai kanal televisi, keluarga-keluarga muslim di Indonesia tergerak ingin mengikuti program menghafal Al-Qur’an. Akan tetapi, program tahfizh pada umumnya masih dianggap eksklusif. Hal ini disebabkan faktor pola pikir yang kurang tepat terhadap mukjizat Al-Qur’an, potensi diri, dan program tahfizh Al-Qur’an yang berlaku pada saat itu. Pola pikir negatif tersebut diantaranya:
- beranggapan bahwa menghafal hanya untuk anak-anak;
- menganggap diri sudah tua sehingga sulit menghafal Al-Qur’an;
- menyalahkan orang tua, yang tidak mengarahkan dirinya untuk belajar
Al-Qur’an sejak kecil; - beralasan tidak ada guru dan tempat untuk menghafal;
- merasa belum menemukan metode yang cocok untuk dirinya;
- meyakini pemahaman hadis bahwa lupa hafalan Al-Qur’an merupakan dosa besar, sehingga tidak mau menghafal Al-Qur’an karena takut dosa;
- berkeyakinan bahwa ayat Al-Qur’an sulit dihafal dan cepat lupa;
- kesibukan sehari-hari dan sulit membagi waktu karena tidak ada prioritas;
- berprasangka bahwa ingatannya lemah sehingga minim ikhtiar;
- anggapan bahwa menghafal harus dimulai saat bulan Ramadhan;
- merasa tidak punya waktu senggang untuk menghafal;
- tidak ada program menghafal Al-Qur’an yang bisa diikuti secara singkat.
Alasan tersebut menjadikan seseorang tidak mau mengambil tindakan menghafal Al-Qur’an, atau tetap menghafal namun masih merasakan kesulitan karena dipengaruhi pola pikir yang salah. Mengatasi pola pikir calon hafizh Al-Qur’an merupakan tugas awal guru Al-Qur’an.
Kesulitan menghafal Al-Qur’an harus diatasi agar ketika memasuki program tahfizh tidak terjadi hambatan. Proses menghafal Al-Qur’an seharusnya tidaklah sesulit yang dibayangkan karena Al-Qur’an merupakan kitab suci yang sudah Allah jaminkan mudah bagi semua orang. Ia dapat dihafalkan oleh kaum tua/muda, apapun jenis profesinya. Ini menolak anggapan kebanyakan orang yang meyakini bahwa menghafal Al-Qur’an itu sulit. Mukjizat kemudahan Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang sepenuhnya berbeda dari kalam lainnya. Persoalannya adalah kemauan atau ketidakmauan menghafalkannya menjadi kunci kemampuan menghafal Al-Qur’an.
Kemudahan menghafal Al-Quran berdasarkan pada firman Allah dalam Al-Qur’an Surah Al-Qamar ayat 17, terjemah Tafsir Jalalain sebagai berikut:
(Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran) Kami telah memudahkannya untuk dihafal dan Kami telah mempersiapkannya untuk mudah diingat (maka adakah orang yang mengambil pelajaran?) yang mau mengambilnya sebagai pelajaran dan menghafalnya. Istifham disini mengandung makna perintah yakni, hafalkanlah Al-Qur’an itu oleh kalian dan ambillah sebagai nasihat buat diri kalian. Sebab tidak ada orang yang lebih hafal tentang Al-Qur’an selain daripada orang yang mengambilnya sebagai nasihat buat dirinya (Al-Mahalli, 2017: 529).
Jaminan kemudahan tersebut merupakan janji Allah Subhanahu Wata’ala di dalam Surat Al-Qamar bahkan berulang dengan redaksi yang sama pada surat yang sama yaitu pada ayat 17, 22, 32 dan 40.
Logika jika menghafal Al-Qur’an ini mudah, seharusnya dapat dilakukan oleh setiap orang, proses pencapaiannya cepat, tidak memerlukan banyak pikiran, tenaga dan biaya. Jika mudah seharusnya tidak ada yang merasakan kesulitan, tetapi mengapa masih banyak orang yang merasa kesulitan kemudian menganggapnya sesuatu yang mustahil untuk dicapai? Program karantina menghafal Al-Qur’an sebulan merupakan sistem pendidikan singkat yang terbilang baru, sehingga harus diteliti konsep-konsep yang mendasari program ini kemudian diangkat sebagai fenomena yang unik untuk diteliti.
Fokus penelitian mengenai metodologi menghafal Al-Qur’an sebulan di Yayasan Karantina Tahfizh Al-Qur’an Nasional (YKTN Pusat). Fenomena YKTN Pusat membuka program menghafal Al-Qur’an sebulan target 30 juz non mutqin dan tiga bulan program mutqin, dua pekan target 10 juz, satu pekan target lima juz, dan dua hari target satu juz. Pelaksanaan karantina tahfizh apabila peserta lebih dari 100 orang biasanya dilakukan di berbagai Hotel Kuningan Jawa Barat, yaitu Hotel Linggarjati, Hotel Horison, Hotel Mutiara, Hotel Ayong, Villa Anugerah, dan Wisma Wendi. Pemandangan di tempat menginap ini bisa sambil memandang gunung Ciremai Kuningan Jawa Barat. Menghafal Al-Quran menjadi lebih kondusif
Pro kontra justru muncul dari kalangan huffazh Al-Qur’an yang telah senior bertahun-tahun belajar dan mengajar Al-Qur’an dengan sistem konservatif sementara para alumni telah merasakan fenomena yang mereka alami selama karantina. Hal ini wajar karena program tahfizh di Sekolah Islam Terpadu (SIT) biasanya tiga tahun tercapai rata-rata tiga sampai lima juz mutqin. Sedangkan di pesantren tahfizh tanpa sekolah, biasanya memerlukan waktu antara satu tahun sampai empat tahun untuk 30 juz mutqin. Ilustrasinya, jika santri menghafal dua halaman per hari, maka khatam sekaligus muraja’ah target satu tahun. Apabila satu halaman per hari, maka memerlukan waktu dua tahun. Sedangkan jika setengah halaman per hari, maka waktu yang dibutuhkan sekitar empat tahun.
Menghafal Al-Qur’an dilakukan dalam waktu sebulan, hal ini di luar kebiasaan sehingga menarik untuk diteliti mengenai konsep dasar fenomena yang terjadi. Menghafal Al-Qur’an tidak mungkin dilakukan tanpa upaya nyata, kemauan menghafal, komitmen pada proses menghafal dengan memaksimalkan seluruh potensi pancaindra, tubuh fisik, akal, dan pikiran yang dikaruniakan oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Penelitian kualitatif fenomenologi disusun agar menjadi gambaran awal bagi peneliti berikutnya. Kelebihan pendekatan fenomenologi yaitu data didapatkan dari peneliti sebagai instrumen dan orang-orang yang terlibat dalam durasi panjang berdasarkan triangulasi yaitu wawancara, observasi dan dokumentasi. Fenomenologi merupakan studi berkaitan dengan pengalaman sebagai sumber data utama untuk memahami realitas terhadap sesuatu secara sadar.
Menurut Setyosari (2016: 65) fenomenological studies berawal dari asumsi bahwa realitas sosial berakar dari sudut pandang subjektif. Setiap pengalaman memiliki makna berbeda bagi setiap orang. Melalui wawancara tidak terstruktur atau interviu bebas maka peneliti dapat mengeksplorasi pemikiran-pemikiran dan perasaan subjek untuk memunculkan esensi pengalaman seseorang.
Menurut Kuswarno dalam Sosiohumaniora (2007: 174-175) konteks penelitian fenomenologi tidak harus berakar dari permasalahan mengenai adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan, melainkan berisi nilai penting, unik, dan khas. Fenomenologi berdasarkan pemaknaan subjek (noesis) terhadap objek (noema). Identifikasi masalah pada penelitian fenomenologi dikemukakan sebagai Fokus Penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak setiap orang mampu menghafal Al-Quran sebulan 30 juz. Akan tetapi, setiap peserta mampu mencapai keberhasilan menurut targetnya masing-masing. Hal ini berdasarkan pada kemampuan membaca Al-Quran. Apabila bacaan Al-Quran sudah sesuai kaidah tajwid maka hafalan yang diperoleh pun signifikan.
Target keberhasilan hafalan peserta Karantina hafal Quran Sebulan, sebagai berikut:
- Level Tahsin hafalan yang diperoleh antara 1-5 juz sebulan.
- Level Tahsin dan Tahfizh hafalan yang diperoleh antara 6-15 juz sebulan.
- Level Tahfizh hafalan yang diperoleh antara 16-30 juz sebulan.
- Level Muroja’ah dan Ziyadah hafalan 30 juz kurang dari sebulan.
- Level Mutqin hafalan yang diperoleh 30 juz disimak per 10 juz.
Sungguh benar janji Allah bahwa menghafal Al-Quran dimudahkan bagi siapa pun yang mau mempelajarinya. Begitulah fenomena menghafal Al-Quran sebulan di YKTN Pusat Kuningan Jawa Barat.
Informasi dan Pendaftaran
www.hafalquransebulan.com
Yadi Iryadi, S.Pd.
Dewan Pembina Yayasan Karantina Tahfizh Al-Quran Nasional
Founder Metode Yadain Litahfizhil Quran
[aioseo_local_business_info]