DR KH Ahsin Sakho Muhammad MA Penasehat Karantina Tahfizh

Hafalan Al-Qur’an Menjadi Pertanda Mukmin Baerilmu

Hafalan Al-Qur’an menjadi pertanda mukmin berilmu. Muslim dan mukmin yang berilmu pasti beriman dengan sungguh-sungguh pada kitab suci umat Islam yaitu Al-Quran. Oleh karena itu, wajar apabila Al-Quran menjadi pertanda orang beriman yang berilmu.


بَلْ هُوَ ءَايَٰتٌۢ بَيِّنَٰتٌ فِى صُدُورِ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ ۚ وَمَا يَجْحَدُ بِـَٔايَٰتِنَآ إِلَّا ٱلظَّٰلِمُونَ

Sebenarnya, Al-Quran adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim (QS. Al-Ankabut : 49).

Hafalan Shahabat Nabi

Ayat ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an dihafalkan dengan kuat di dalam dada mukmin yang berilmu. Hal ini mengisyaratkan bahwa Al-Qur’an telah dihafal oleh para shahabat Nabi. Dalam sejarah disebutkan bahwa begitu ayat Al-Qur’an turun maka shahabat begitu gandrung dalam menghafalkannya.

Menurut DR. KH. Ahsin Sakho Muhammad, MA., Al-Hafizh menjelaskan bahwa ada beberapa alasan mengapa mereka begitu semangat menghafal Al-Qur’an.

Pertama, para shahabat adalah insan pilihan yang menemani dan mengawal nabi dalam melebarkan dakwah ke seluruh penjuru dunia. Kecintaan mereka pada Nabi Muhammad dan Islam begitu tinggi sehingga mereka bersemangat untuk membaca, menuliskan, menghafal, dan mengkajinya. Hal ini dapat ditiru oleh umat Islam zaman sekarang agar meningkatkan kecintaan terhadap Al-Qur’an dengan melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan oleh para Shahabat Nabi.

Kedua, masyarakat Arab merupakan tradisi bahwa mereka menyukai syair yang indah. Syair merupakan suatu budaya mereka. Jika saat ini orang-orang menyukai kata-kata mutiara atau Quote, maka Al-Qur’an lebih indah dari semua perkataan manusia. Karena Al-Qur’an merupakan kalamullah yang diturunkan dari Allah melalui malaikat jibril kepada Nabi Muhammad, sebagai petunjuk dan pedoman hidup umat manusia.

Ketiga, masyarakat Arab yang saat itu kebanyakan tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis maka mereka mengandalkan daya ingat untuk menghafalkan syair-syair, nasab, dan lain sebagainya. Disebutkan pula dalam buku karya beliau DR. KH. Ahsin Sakho Muhammad, MA., Al-Hafizh berjudul “Menghafalkan Al-Qur’an” bahwa masyarakat Arab kala itu hafal ribuan syair karya Imriil Qais, Zuhair bin Abi Sulma, ‘Antarah bin Syadad, Tharfah bin Al-‘Abd, ‘Amr bin Kaltsum, Al-harits bin Hilizah Al-Yaskuri, dan lain-lain.

Memodel Para Penghafal Al-Qur’an

Jika saat ini masyarakat modern menyukai menghafalkan lagu-lagu, syair-syair, puisi, sajak, drama, nasihat, kata-kata mutiara maka sebenarnya semua orang berpotensi untuk mampu menghafal Al-Qur’an. Menghafal Al-Qur’an selain berpahala juga merupakan indikator memiliki ilmu pengetahuan. Orang-orang yang sebelum menghafal Al-Qur’an biasanya tampil tidak begitu cerdas, namun setelah menghafal Al-Qur’an biasanya Allah mudahkan untuk mempelajari ilmu-ilmu lainnya.

Memodel atau meniru jejak para shahabat Nabi dalam menghafalkan Al-Qur’an merupakan langkah terbaik untuk melanjutkan jejak mereka dalam dunia tahfizh Al-Qur’an.

Terjaga Sepanjang Zaman

Riwayat para shahabat Nabi dalam menghafalkan Al-Qur’an sebagaimana dalam kitab Ma’rifatul Qur’an Al-Kibar karya Adz-Dzahabi atau dalam kitab Ghayatun Nihayah Fi Thabaqatil Qurra karya Ibn Al-Jazari disebutkan bahwa penghafal Al-Qur’an sejak zaman shahabat sampai pada masa itu berjumlah ribuan orang. Ini menunjukkan bahwa kecintaan para shahabat dan para tabi’in serta tabi’uttabi’in begitu besar terhadap kitab suci umat Islam. Mereka berasal dari kalangan masyarakat baik anak-anak maupun dewasa, baik dari bangsa Arab maupun non Arab. Hal yang paling mencengangkan adalah banyak diantara mereka menghafalkan Al-Qur’an padahal dari mereka tidak mengerti apa yang mereka baca. Dari dua rujukan karya kitab kuno generasi awal Islam ini maka semakin meyakinkan kita bahwa keaslian Al-Qur’an akan tetap terjaga dari dulu, saat ini, sampai akhir zaman.

Menghafal Al-Qur’an jika tanpa memahami terjemah maka akan terasa sulit. Namun toh kenyataannya banyak orang yang mampu menghafalkannya. Adapun orang yang mampu membaca, menulis, mendengar, memahami terjemahnya maka akan lebih dimudahkan lagi. Dan itu semua dipraktikkan di Yayasan karantina Tahfizh Al-Qur’an Nasional dalam program menghafal Al-Qur’an sebulan.

Proses menghafalkan Al-Qur’an memerlukan kesiapan spiritual keimanan dan kemauan untuk menjalaninya. Tidak ada orang yang mengingkari kemudahan Al-Qur’an untuk mudah dihafal melainkan orang-orang yang menzalimi dirinya sendiri. Semoga Allah Subhanahu Wata’ala senantiasa memberikan petunjuk kepada kita semua sehingga kita semua digolongkan menjadi ahlul quran dan orang yang dikhususkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Aamiin.

Yadi Iryadi, S.Pd.
Dewan Pembina Yayasan Karantina Tahfizh Al-Qur’an Nasional
Founder Metode Yadain Litahfizhil Qur’an
Licensed Neuro Linguistic Programming (NLP)
Master Coach Hipnotahfizh
www.karantinatahfizh.id
www.hafalquransebulan.com

author avatar
Yadi Iryadi, S.Pd.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *