Menghafal Al-Quran merupakan salah satu kegiatan paling berharga dalam pendidikan Islam, namun tidak jarang santri mengalami keengganan dalam melakukan ziyadah (penambahan hafalan) dan muraja’ah (pengulangan hafalan).
Artikel ini bertujuan untuk memberikan wawasan dan strategi praktis dalam mengatasi tantangan ini, membangkitkan semangat dan kecintaan terhadap Al-Quran.
A. Memahami Sumber Keengganan
Pertama, penting untuk mengidentifikasi penyebab keengganan. Apakah karena kurangnya motivasi, metode pembelajaran yang tidak sesuai, atau faktor eksternal seperti tekanan sosial? Memahami akar permasalahan adalah langkah awal yang krusial. Berikut adalah beberapa faktor yang mungkin berkontribusi:
1. Kurangnya Motivasi:
Santri mungkin kehilangan motivasi karena berbagai alasan, seperti tidak memahami manfaat menghafal Al-Quran dalam kehidupan mereka, atau merasa tidak ada kemajuan dalam hafalan mereka. Kurangnya tujuan jangka panjang yang jelas atau tidak adanya penghargaan dan pengakuan atas usaha mereka juga dapat mempengaruhi motivasi.
2. Metode Pembelajaran yang Tidak Sesuai:
Setiap individu memiliki cara belajar yang berbeda. Jika metode pembelajaran yang digunakan tidak sesuai dengan gaya belajar santri, seperti terlalu monoton atau kurang interaktif, hal ini dapat menyebabkan kebosanan dan keengganan. Penggunaan satu metode yang sama untuk semua santri tanpa mempertimbangkan keunikan mereka bisa menjadi penghalang.
3. Faktor Eksternal:
Tekanan sosial, lingkungan yang tidak mendukung, atau kelelahan karena kesibukan lain seperti sekolah atau pekerjaan dapat menyebabkan keengganan dalam menghafal Al-Quran. Tekanan untuk bersaing dengan santri lain atau ekspektasi tinggi dari orang tua dan guru juga dapat menjadi beban.
4. Kurangnya Pemahaman atau Tadabbur:
Jika santri tidak memahami makna di balik ayat-ayat yang mereka hafal, atau tidak diberi kesempatan untuk merenungkan dan menerapkan ajaran tersebut, mereka mungkin merasa bahwa hafalan mereka kurang bermakna dan tidak terhubung secara pribadi dengan Al-Quran.
5. Isu Psikologis atau Emosional:
Faktor seperti kecemasan, stres, atau rendahnya kepercayaan diri juga dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menghafal Al-Quran. Keengganan ini mungkin merupakan manifestasi dari masalah psikologis yang lebih dalam.
6. Kesehatan Fisik:
Kesehatan fisik yang buruk atau kelelahan dapat mempengaruhi konsentrasi dan daya ingat, membuat proses hafalan menjadi lebih sulit.
Mengidentifikasi sumber keengganan ini memungkinkan pengajar dan santri sendiri untuk mengembangkan strategi yang sesuai untuk mengatasi hambatan tersebut dan membangun pendekatan yang lebih positif dan efektif dalam menghafal Al-Quran.
Bagian Atas Formulir
B. Strategi Mengatasi Keengganan
1. Pengaturan Tujuan yang Realistis:
Menetapkan target hafalan yang realistis dan sesuai kemampuan individu dapat mengurangi rasa kewalahan dan meningkatkan rasa pencapaian. Di Pondok Pesantren Karantina Tahfizh Al-Quran Nasional biasanya diawali dengan pre-test tahsin dan tahfizh Al-Quran sehingga dapat diperkirakan sejak awal, santri tersebut akan mendapatkan berapa juz dalam suatu program karantina tahfizh.
2. Variasi dalam Metode Pembelajaran:
Mengadopsi berbagai metode menghafal, seperti visual, auditif, dan kinestetik, dapat membantu santri menemukan cara yang paling cocok bagi mereka. Metode Yadain Litahfizhil Quran berisi teknik-teknik menghafal Al-Quran menggunakan modalitas dan submodalitas belajar sehingga bisa dipraktikkan oleh orang yang telah mendapatkan bimbingan metodenya.
3. Membangun Rutinitas yang Konsisten:
Kedisiplinan dalam ziyadah dan muraja’ah dapat diperkuat dengan rutinitas harian yang konsisten. Menjadikan kegiatan otomatis sebagai rutinita akan meringankan beban planing karena sudah merupakan jadwal harian yang terus menerus dilakukan. Hal ini biasanya akan lebih konsisten jika terdapat guru, murid, dan lingkungan penghafal Al-Quran.
4. Penggunaan Teknologi Pembelajaran:
Aplikasi dan perangkat lunak hafalan Al-Quran dapat menjadi alat bantu yang efektif. Ini boleh dilakukan setelah proses karantina tahfizh Al-Quran atau pasca karantina tahfizh. Selama proses pendidikan karantina tahfizh, peserta tidak diperbolehkan mengakses gadget sekalipun Al-Quran Digital.
5. Group Study dan Diskusi:
Belajar dalam kelompok dapat meningkatkan motivasi dan memberikan dukungan moral. Tausiyah saling memotivasi setiap ba’da ashar selalu dilakukan dari peserta untuk peserta sehingga terjadi suasana lingkungan yang kondusif dan motivasi yang terjaga.
C. Pentingnya Tadabbur
Merenungkan dan memahami makna ayat yang dihafal (tadabbur) dapat meningkatkan kecintaan dan minat dalam menghafal. Seperti Allah berfirman, “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau sekiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisa: 82).
Dengan tadabbur, Al-Quran bukan lagi sekumpulan ayat-ayat untuk dihafalkan, tetapi menjadi sumber inspirasi yang tak ada habisnya. Setiap kata, setiap ayat membawa kita lebih dekat kepada pemahaman yang lebih dalam tentang rahasia kehidupan dan penciptaan. Ini adalah perjalanan yang mengubah kita, tidak hanya sebagai seorang muslim, tetapi sebagai manusia yang terus tumbuh dan berkembang.
Jadi, ketika menghafalkan Al-Quran, jangan lupa untuk meluangkan waktu untuk tadabbur. Biarkan setiap kata meresap ke dalam hati dan pikiran kita. Biarkan mereka membimbing, mengajar, dan mengubah diri kita. Ini adalah kunci untuk membuka harta karun kebijaksanaan dan kedamaian yang Allah SWT telah siapkan untuk kita semua.
D. Peran Pengajar dan Lingkungan
Dalam proses menghafal Al-Quran, peran pengajar dan lingkungan tempat santri belajar sangat krusial. Kedua aspek ini memberikan pengaruh besar terhadap motivasi, efektivitas belajar, dan kesuksesan santri dalam menghafal Al-Quran.
1. Motivasi dan Bimbingan oleh Pengajar:
- Personalisasi Metode Pengajaran: Setiap santri memiliki gaya belajar yang unik. Pengajar efektif mengenali ini dan menyesuaikan metode mengajarnya agar sesuai dengan kebutuhan individu. Ini bisa termasuk kombinasi metode visual, auditori, dan kinestetik, serta pendekatan yang lebih interaktif seperti diskusi dan tanya jawab.
- Memberikan Umpan Balik yang Konstruktif: Umpan balik positif dan konstruktif sangat penting untuk membangun kepercayaan diri santri dan memotivasi mereka untuk terus berusaha. Pengajar harus menunjukkan di mana dan bagaimana perbaikan bisa dilakukan, sambil tetap mengakui usaha dan kemajuan yang telah dibuat.
- Menjadi Sumber Inspirasi dan Teladan: Pengajar yang menunjukkan kecintaan dan penghormatan terhadap Al-Quran secara otomatis akan menginspirasi santri mereka. Menjadi contoh dalam hal hafalan dan perilaku dapat memotivasi santri untuk meniru dan menginternalisasi nilai-nilai tersebut.
2. Menciptakan Lingkungan yang Mendukung:
- Di Rumah: Keluarga memiliki peran penting dalam mendukung proses hafalan Al-Quran. Menciptakan lingkungan yang tenang dan mendukung untuk belajar, mendorong rutinitas belajar yang konsisten, dan menunjukkan minat serta dukungan dalam proses hafalan merupakan beberapa cara keluarga dapat membantu.
- Di Sekolah atau Madrasah: Lingkungan belajar yang kondusif adalah kunci. Ini termasuk kelas yang tenang, sumber daya pembelajaran yang memadai, dan suasana yang mendorong belajar dan refleksi. Fasilitas seperti perpustakaan, ruang belajar, dan teknologi pembelajaran modern juga dapat meningkatkan minat dan efektivitas hafalan.
- Komunitas Pembelajaran: Menciptakan komunitas di mana santri dapat saling mendukung, berbagi tips dan pengalaman, serta saling mendorong dapat sangat meningkatkan motivasi. Ini menciptakan rasa kepemilikan dan keterlibatan yang lebih dalam dalam proses belajar.
- Keseimbangan dan Kesejahteraan: Lingkungan yang mendukung juga harus memperhatikan keseimbangan dan kesejahteraan mental santri. Ini termasuk memastikan ada waktu untuk rekreasi, aktivitas fisik, dan istirahat yang memadai.
Kombinasi dari pengajaran yang tepat dan lingkungan yang mendukung menciptakan ekosistem yang ideal untuk pembelajaran Al-Quran. Hal ini tidak hanya mendukung santri dalam proses hafalan, tetapi juga dalam pengembangan mereka sebagai individu yang seimbang, termotivasi, dan berkomitmen terhadap nilai-nilai Islam.
E. Menggali Inspirasi dari Kisah Sukses
Membaca dan mendengarkan kisah sukses para hafizh dan hafizhah dapat menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi santri.
Program Karantina Tahfizh Al-Quran itu berhasil karena bisa mengubah sikap orang. Dalam Islam, ada ide bahwa orang bisa berubah kalau mereka kenal diri sendiri, sadar, dan mau berubah karena petunjuk dari Allah. Kepercayaan dan spiritual juga penting untuk ubah sikap.
Ada cerita terkenal dalam Islam tentang Umar bin Khatab, yang dulu bukan Muslim dan sikapnya keras. Dia bahkan sempat mau bunuh Nabi Muhammad SAW. Tapi, semuanya berubah waktu dia denger ayat-ayat dari Al-Quran, khususnya dari surah Thaha. Ayat-ayat itu menyentuh hatinya dan dia jadi yakin sama Islam.
Setelah denger ayat-ayat itu, Umar ke rumah temannya, Khabbab bin Al-Arath, yang sudah jadi Muslim. Khabbab waktu itu sembunyi di rumah Umar karena takut sama orang-orang Mekah yang siksa Muslim. Umar minta Khabbab bacain surah Thaha. Waktu denger itu, Umar nangis dan bilang dia nemu kebenaran. Dia langsung pergi ke tempat Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya berkumpul dan jadi Muslim di depan mereka.
Cerita Umar ini nunjukin bahwa Al-Quran bisa ubah sikap seseorang. Umar jadi Muslim yang baik dan dihormati, dikenal sebagai pemimpin yang adil. Cerita ini juga kasih tau kita bahwa siapa saja bisa berubah kalau mereka mau, dan kepercayaan serta spiritual bisa bantu ubah sikap.
F. Pentingnya Istiqomah
Konsistensi dan ketekunan (istiqomah) dalam menghafal Al-Quran adalah kunci utama. Seperti sabda Rasulullah SAW, “Sebaik-baiknya amal adalah yang dilakukan secara terus-menerus, meskipun sedikit.” (HR. Muslim).
Menghafal Al-Quran di Pondok Pesantren Karantina Tahfizh Al-Quran Nasional dilakukan secara bertahap yaitu: Menghafal Al-Quran ziyadah setiap kali setoran hafalan 1 halaman dengan target khatam ziyadah. Setelah itu kemudian muraja’ah per 5 halaman sampai 1 juz lancar, sampai kemudian muraja’ah 30 juz dengan tasmi’ per 5 halaman.
Apabila per 5 halaman sudah bisa maka dilanjutkan khataman per 1 juz sampai 30 juz. Kemudian khataman per 5 juz sampai 30 juz dan seterusnya sampai target mutqin 30 juz. Insyaa Allah.
Mengatasi keengganan menghafal Al-Quran membutuhkan pendekatan yang komprehensif, mulai dari menetapkan tujuan yang realistis, memvariasikan metode pembelajaran, memahami makna ayat, hingga menciptakan lingkungan yang mendukung. Dengan strategi yang tepat, semangat ziyadah dan muraja’ah dapat ditingkatkan, membuka jalan bagi pencapaian spiritual yang lebih dalam.
Semoga Allah mengaruniakan kepada kita kemudahan untuk senantiasa dekat dengan Al-Quran. Mempelajari serta mengkajinya dan menjadikan Al-Quran sebagai pedoman kehidupan, Aamiin.
Yadi Iryadi, S.Pd.
Founder Metode Yadain Litahfizhil Quran
Pembina II Yayasan Karantina Tahfizh Al-Quran Nasional