Penyebab Melemah dan Kuatnya Hafalan Imam Asy Syafi’i

Berikut ini penyebab melemah dan kuatnya hafalan Imam Asy Syafi’i. Pergaulan saat masih kecil. Imam Syafi’i memilih tinggal di dusun kaum Hudzail. Kaum Hudzail ini terkenal karena kemurnian Bahasa arabnya. Kaum hudzail juga terkenal dengan kesusastraan dan syairnya. Sang ibunda yang visioner mengajari Imam Syafi’i agar mempergauli orang-orang yang ahli dibidangnya, agar kemajuan studinya berkembang pesat. Pergaulan dengan kaum Hudzail ini terbukti efektif meningkatkan kemampuan berbahasa arab, sastra arab, dan syair.

Di masa selanjutnya Imam Syafi’i menjadi ulama yang tak pernah kalah berdebat. Ia juga menjadi ahli syair membuat banyak sekali nasehat yang dibungkus dengan syair syair yang indah.

Pergaulan dengan ulama-ulama Al Qur’an Imam Syafi’I pindah dari desa kelahirannya menuju Mekah. Hal itu dikarenakan Mekah pada masa itu adalah pusatnya ilmu, terutama ilmu Al Quran. Imam Syafi’I mempergauli ahli-ahli Ilmu Al Quran agar ia tertular keahlian mereka. Pergaulan Imam Syafi’I kecil dengan ulama-ulama Mekah membuatnya hafal 30 juz Al Qur’an pada usia 7 tahun.

Pergaulan dengan ulama-ulama ahli fiqh Setelah menginjak dewasa Imam Syafi’i pindah dari Mekah ke Madinah. Beliau berguru pada seorang ulama besar, ahli fiqih, pendiri mazhab Maliki, yaitu Imam Malik bin Anas. Asy Syafi’i membersamai imam Malik di Madinah sampai beliau wafat.

Pergaulannya dengan Imam Malik bin Anas membuat Asy Syafi’i menjadi ahli fiqih, sama seperti gurunya. Pergaulan dengan masyarakat Yaman Setelah Imam Malik bin Anas meninggal dunia, Asy Syafi’i pindah ke Yaman. Ia diminta untuk menjadi salah satu hakim di sana. Pekerjaan Imam Syaf’i mengharuskannya bersentuhan langsung dengan masyarakat luas. Pergaulannya dengan masyarakat luas membuat ilmu-ilmu yang ia pelajari ‘membumi’.

Jadi ketika Imam Syafi’i mengajar atau berceramah, kata-katanya mudah dimengerti oleh akal dan nasehatnya merasuk ke dalam hati.

Pergaulan Imam Syafi’i dengan masyarakat Baghdad

Setelah dari Yaman, taqdir membawa Asy Syafi’i pindah ke Irak. Irak pada waktu itu adalah ibukota dunia. Pusat pemerintahan kekhalifahan Islam, dimana yang menjadi Khalifah adalah Harun Ar Rasyid. Kultur masyarakat di Mekah, Madinah, Yaman, dan Irak berbeda-beda. Perbedaan kultur masyarakat di daerah-daerah yang pernah Asy Syafi’i singgahi membuatnya menjadi lebih bijaksana dalam memutuskan suatu hukum fiqih. Sehingga tidak mengherankan jika fiqih mazhab Syafi’i tersebar begitu luas di seluruh dunia.

Pergaulan Imam Syafi’i dengan masyarakat Mesir

Setelah berpetualang dari Palestina, Hijaz, Yaman, dan Irak, Asy Syafi’i belum merasa puas. Ia ingin terus belajar, mengajar , menggali ilmu, serta memberi solusi atas permasyalahan masyarakat. Akhirnya ia pindah lagi ke Mesir. Di Mesir Asy Syafi’i menemukan kultur masyarakat yang berbeda pula dari daerah-daerah sebelumnya. Ilmu Asy Syafi’i semakin matang. Di Mesir Asy Syafi’i lebih fokus pada mengajar dan menulis. Majlis Imam Asy Syafi’i semakin membesar. Murid-muridnya datang dari seluruh penjuru dunia. Dari murid-murid dan buku-bukunya fiqih mazhab Syafi’i menyebar ke seluruh pelosok dunia

Ilmu itu tersimpan dalam otak dan qalbu manusia, sehingga ketika keduanya tidak dijaga, maka berkuranglah daya simpannya. Bagaimana Imam Asy Syafi’i menjaga otak dan qalbunya, maka pada tulisan kali ini kita akan mendapatkan pembelajaran penting dari beliau.

Kisah ketika kekuatan hafalan Asy Syafi’i melemah

Imam Asy Syafi’i menuturkan kisahnya: “Suatu hari tanpa sengaja aku melihat kaki seorang wanita yang tersingkap, sehingga ketika melihat Al Qur’an, aku mengalami kesulitan dalam menghafalnya. Lalu aku mengadukan perihal lemahnya ingatanku kepada Waki’. Ia membimbingku agar meninggalkan maksiat. Al Waki’ berkata. “Ketahuilah bahwa ilmu itu karunia, dan karunia Allah tidak diberikan kepada seorang pemaksiat”. Ia juga berkata, “ketahuilah bahwa ilmu itu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak diberikan kepada seorang pemaksiat.”

Menjaga diri dari menyia-nyiakan waktu

Suatu hari Imam Asy Syafi’i bertemu dengan sekelompok orang yang sedang bermain dadu. Lalu ia berkata, “Aku membenci orang yang sibuk melakukan pekerjaan yang tidak bermanfaat bagi agama dan dunianya.”

Menjaga perut hanya bagi yang halal

Suatu hari Imam Asy Syafi’i bertamu kerumah muridnya, Imam Ahmad bin Hanbal. Ketika disuguhkan makan malam, Asy Syafi’i makan dengan banyak. Hal itu mengundang kritik putri Ahmad bin Hanbal. Lalu Ahmad bin Hanbal menyampaikan kritik putrinya kepada Asy Syafi’i. Beliau tersenyum seraya berkata, ” Aku telah makan banyak, karena aku sungguh mengetahui bahwa makanan anda berasal dari sumber yang halal. Anda juga seorang pemurah. Adapun makanan dari seorang pemurah adalah obat, sedangkan makanan dari seorang yang bakhil adalah penyakit.

Aku makan bukan untuk mengenyangkan perut, melainkan untuk berobat dengan makanan anda.”

Menjaga hati agar tidak dilekati dunia

Imam Asy Syafi’i melantunkan sebuah syair, Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang cerdas

Mereka tidak melekatkan dunia dihatinya, karena takut akan fitnahnya. Mereka melihat dengan kecerdasannya bahwa dunia bukanlah negeri — untuk kehidupan yang sejati. Mereka hanya menjadikannya dunia sebagai samudra. Mereka tidak menenggelamkan diri, tetapi berlayar di atasnya, seraya melakukan amal saleh.

Imam Asy Syafi’i berkata, “Bersihkanlah pendengaran kalian dari kata-kata kotor, sebagaimana kalian juga membersihkan lisan-lisan kalian dari mengucapkannya.”

Sumber: 5 Rahasia Dibalik Kehebatan Imam Asy Syafi’i

Informasi dan pendaftaran program Karantina Hafal Quran Sebulan
www.hafalquransebulan.com

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *