Di tengah maraknya kegiatan menghafal Al-Qur’an di Indonesia, kita sering menjumpai variasi penulisan untuk istilah تحفظ القرآن, yaitu tahfidz, tahfizh, dan tahfiz. Ketiga bentuk ini, meskipun merujuk pada makna yang sama, menimbulkan pertanyaan menarik tentang bagaimana bahasa Arab ditransliterasikan ke dalam bahasa Indonesia, dan bagaimana kaidah bahasa berinteraksi dengan dinamika penggunaan di masyarakat.
Artikel ini akan mengajak Anda menyelami lebih dalam perkembangan penulisan “tahfidz” dengan menelusuri sejarah transliterasi, membandingkan praktik di berbagai negara, serta mengkaji pandangan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Pembahasan ini kiranya dapat memberikan wawasan baru bagi para santri, ustadz, dan seluruh civitas hospitalia Pondok Pesantren Karantina Tahfizh Al-Qur’an Nasional, serta menumbuhkan apresiasi terhadap kekayaan dan keluwesan bahasa dalam melestarikan Al-Qur’an.
Transliterasi: Jembatan Antar Bahasa
Transliterasi adalah proses mengalihkan tulisan dari satu sistem aksara ke sistem aksara lainnya. Dalam konteks ini, kita membahas transliterasi huruf Arab ke huruf Latin. Tujuannya adalah agar kata-kata Arab, termasuk istilah-istilah Al-Qur’an, dapat ditulis dan dibaca oleh orang-orang yang menggunakan huruf Latin.
Tantangan Transliterasi Huruf ظ (Zha)
Salah satu tantangan dalam transliterasi bahasa Arab adalah huruf ظ (zha). Huruf ini memiliki bunyi yang unik, yaitu “dz” yang tebal, yang tidak memiliki padanan persis dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, muncullah beberapa variasi penulisan dalam transliterasi “tahfidz”. Masalahnya penulisan huruf “dz” ini pun akan berpotensi tertukar dengan penulisan huruf ذ misalnya pada istilah “Ustadz”.
Kembali lagi pada pembahasan Tahfidz, Tahfizh, dan Tahfiz:
- Tahfidz: Dahulu penulisan ini dianggap paling akurat karena “dz” paling mendekati bunyi aslinya.
- Tahfizh: Penulisan ini merupakan alternatif yang cukup populer, mungkin karena kemudahan pengetikan dan pengaruh bahasa Inggris.
- Tahfiz: Penulisan ini paling sederhana, namun kurang akurat tetapi populer dengan adanya program di televisi yaitu Tahfiz Indonesia. Bahkan sebagian KBBI sudah memasukkan kata ini sebagai istilah untuk hafalan.
Praktik Transliterasi di Berbagai Negara
Menariknya, variasi transliterasi huruf ظ ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Negara-negara lain pun memiliki pendekatan yang berbeda-beda. Mari kita lihat beberapa contoh:
Negara | Transliterasi ظ | Contoh Penulisan “Tahfidz” |
Turki | z | hafız |
Iran/Persia | z | tahfiz |
Malaysia | dz/zh | tahfidz/tahfizh |
Maroko | dh/d | tahfidh/tahfid |
Perbedaan ini dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti sistem fonologi bahasa, sejarah dan kebudayaan, serta standar transliterasi yang berlaku di masing-masing negara.
KBBI dan “Tahfiz”
Di Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mencantumkan “tahfiz” sebagai bentuk baku untuk kata “hafalan”. Pemilihan bentuk ini, yang menggunakan “z” tunggal, mungkin didasarkan pada pertimbangan penyederhanaan dan konsistensi aturan transliterasi. Tetapi huruf “z” ini akan bermasalah karena dapat tertukar dengan huruf ز (zai).
Dinamika Bahasa dan “Tahfidz”
Meskipun KBBI menetapkan “tahfiz” sebagai bentuk baku, penggunaan “tahfidz” dan “tahfizh” tetap meluas di masyarakat, terutama dalam lingkungan pondok pesantren dan institusi pendidikan Al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa bahasa adalah entitas yang hidup dan dinamis. Penggunaan bahasa dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk tradisi, kebiasaan, dan perkembangan zaman.
Perkembangan penulisan “tahfidz”, “tahfizh”, dan “tahfiz” mencerminkan kompleksitas transliterasi huruf Arab ke huruf Latin, khususnya huruf ظ. Variasi penulisan ini juga menunjukkan dinamika bahasa dan adaptasinya terhadap berbagai konteks.
Refleksi untuk Pondok Pesantren Karantina Tahfizh Al-Qur’an Nasional
Sebagai sebuah lembaga pendidikan Al-Qur’an, Pondok Pesantren Karantina Tahfizh Al-Qur’an Nasional memiliki peran penting dalam melestarikan dan mengembangkan bahasa Arab, termasuk dalam hal transliterasi. Keberadaan variasi penulisan “tahfidz” ini dapat dijadikan momentum untuk mengajarkan santri tentang kaidah transliterasi, sejarah bahasa, namun yang terpenting yaitu menjaga kemurnian Al-Qur’an melalui lisan orang-orang yang Allah SWT pilih untuk menjaganya.
Semoga artikel ini memberikan wawasan baru dan menginspirasi kita semua untuk terus mempelajari dan mencintai Al-Qur’an, serta menggunakan bahasa dengan bijak dan bertanggung jawab. Wallahu a’lam bishawab.
Yadi Iryadi, S.Pd.
Founder Metode Yadain Litahfizhil Quran
Pembina II Yayasan Karantina Tahfizh Al-Quran Nasional
Informasi dan Pendaftaran
www.hafalquransebulan.com
